Sabtu, 04 Agustus 2012

Best Friend or Love (12)


                           *BEST FRIEND OR LOVE (12)*







Aku dan Bryan terbelalak kaget ketika membuka pintu salah satu ruangan studio tersebut. “Oh, my God!!” kataku dan Bryan secara bersamaan.

“Kurasa kita tidak salah tempat.” kata Bryan tanpa ekspresi di wajahnya. “Bryan, sepertinya kita sudah terlambat ya?” tanyaku ke Bryan.

Ruangan ini seperti kapal pecah. Bahkan tidak ada barang yang tertata rapi. Vas dan pot bunga pecah semua. Kursi dan sofa juga semuanya terbalik. Begitu pula dengan buku-buku di rak dan majalah serta koran yang berceceran dimana-mana. Pokoknya lebih mengerikan dari rumah hantu. (Emang pernah liat yaa?? Kayaknya Cuma di televisi doang “~,~)

‘Brukk!! Prangg!! Pyarr!!’ suara gaduh kembali terdengar dan membuat aku dan Bryan secara spontan langsung menoleh ke asal suara tersebut yang sepertinya berasal dari salah satu kamar didalam.

“Bryan…” aku mundur mendekat ke Bryan dengan bergemetaran. “Mereka pasti lagi main di ruangan perapian didalam. Let’s go, Emma. Follow me!” Bryan mengajakku masuk dan menutup pintu. (Main?? -.-‘’)

Bryan menuju sebuah kamar dengan pintu terbuka dan aku masih mengikuti dibelakangnya. “God, mudahan tidak terjadi apa pun terhadap Mark maupun terhadap Kian. Mudahan aku dan Bryan belum sepenuhnya terlambat untuk menghentikan mereka.” aku berdoa dalam hati.

Suara mereka makin terdengar dan makin menusuk telingaku. Mereka saling memaki dan berteriak mengucapkan kata-kata yang saling menyalahkan dan saling menjatuhkan satu sama lain.

Aku menarik lengan Bryan. Bryan menoleh dengan penuh keheranan melihatku menarik lengannya. Aku hanya menundukkan kepala dengan badan yang makin bergemetaran.

“It’s all my wrong. Andai saja aku tetap tinggal di Indonesia, kejadian ini tidak mungkin terjadi.” Aku berkata dengan bergetar menahan air mataku yang ingin jatuh.

“Emma, it’s not your wrong. Tidak ada gunanya kamu menyesal dan menyalahkan dirimu terus seperti ini. Please, don’t cry. That will be a better day. I promise to you, baby.” Bryan memelukku dengan lembut dan hangat. Dari aku kecil Bryan paling bisa membuat diriku tenang dengan kata-katanya dan pelukkannya.

“Thanks, Bryan” aku membalas pelukannya. “No problem, baby. Please, don’t cry again. I won’t see you cry. Promise??” Bryan mengangkat wajahku dengan kedua tangannya secara lembut dan menatap mataku. “Yap. Promise!” aku tersenyum pada Bryan dan membuat Bryan tersenyum lega.

Bryan melepaskan tangannya dari wajahku. Aku menghapus air mataku dan cepat-cepat menenangkan diriku yang kacau. Aku menghela nafas cukup panjang.

“Oke, Bryan. I’m ready now.” aku tersenyum pada Bryan. Bryan menepuk pundaku dengan lembut membuatku semakin nyaman bersamanya.

Aku dan Bryan kembali menuju salah satu ruangan dari kamar ini.

Aku dan Bryan kembali terbelalak kaget setengah mati melihat isi ruangan perapian ini. Isi ruangan perapian ini bahkan sangat jauh lebih parah banget dibandingkan ruangan diluarnya. (Bisa dibayangin dehh seberapa parahnya ‘^-^)

“Stop…!! Mark!! Kian!! Shane??!!” teriakku yang membuat mereka langsung berhenti dan menoleh ke arah aku dan Bryan yang masih berdiri didekat pintu. “Emma??!!” Mark, Kian, dan Shane bertanya penuh heran secara bersamaan. (Biar perang tapi masih tetap kompak :D)

“Kok namaku nggak dipanggil sihh?? Emangnya aku ini patung ya?? By the way, kok Shane ikutan juga ya??” Bryan memberikan pertanyaan bertumpuk yang aneh-aneh.

“Huft… Bryan, aku juga bingung yang tentang Shane. Tapi, pertanyaanmu itu nggak penting ditanyakan sekarang.” aku berbisik kepada Bryan. Entah karena dia marah dengan jawabanku itu atau hal lain, Bryan duduk santai sambil menyalakan televisi dan seolah ‘tak perduli dengan apa yang terjadi dihadapannya sekarang. (Bryan ngambekan… -_-)

“Oke, sekarang kembali ke permasalahan sebelumnya. Mark, Kian, dan Shane bisa kalian jelaskan padaku sekarang persoalan apa yang membuat kalian menjadi seperti ini?” pintaku ke Mark, Kian, dan Shane.

“Kian dan Mark ingin merebutmu dari aku.” Shane menjawab duluan. “Tapi, aku bukan milikmu lagi, Shane. Itu bukan alasan yang kuat.” aku menepis alasan Shane yang membuat Shane terdiam seribu bahasa.

“Kenapa kalian bertiga hanya diam saja? Apa karena memang benar bahwa akulah penyebabnya, iya kan? Jawab!” amarahku ‘tak terkendali melihat mereka hanya terdiam membisu.

Sudah beberapa menit aku menunggu jawaban keluar dari mulut mereka, tapi ‘tak ada satu pun yang membuka mulut menjawab pertanyaanku. “Huft… Ok, fine. Semua sekarang sudah jelas kalau akulah penyebabnya.” aku menyerah menunggu jawaban keluar dari mulut Mark, Kian, dan Shane.

Mendengar perkataanku itu Bryan langsung berbalik dan mendatangiku. “Emma please don’t say, you’ll come back to Indonesia. Don’t say that, please.” Bryan memegang kedua pundakku dan menatapku seolah-olah memohon kepadaku.

“I’m sorry, Bryan. ‘Cause I want come back to Indonesia. I want stay in Indonesia with My Dad again. It’s the last way out. Sorry…” jawabku sambil melepaskan tangan Bryan dari pundakku.

Mendengar jawabanku itu bukan hanya Bryan yang terlihat lemas dan tidak terima, tapi bahkan Mark, Kian, dan Shane juga terkejut sambil menatapku.

“Don’t, Emma!! Kamu tidak perlu balik ke Indonesia, biar aku saja yang menjauh dari kehidupan kalian dan aku pun akan keluar dari Westlife.” Mark mendekatiku. Ucapan Mark tersebut membuat Bryan, Kian, dan Shane kembali terkejut tapi mereka ‘tak berani melakukan apa pun.

“Mark, aku nggak mau kamu keluar dari Westlife. Aku cuman nggak mau merusak persahabatan kalian hanya karena diriku. Please… Cabut ucapanmu yang barusan itu.” pintaku ke Mark.

“Emma, I can’t lie again. I love Westlife, but I love you, too. Jadi, biarkanlah aku pergi menjauh demi keutuhan Westlife. Emma, I want you smile to me. Please, for the last.” Mark memegang kedua tanganku.

Aku tersenyum mengikuti perintah Mark. Ketika melihatku tersenyum, Mark merasa puas dan pergi dari hadapan aku, Bryan, Kian, dan Shane yang mematung.

Aku tahu itu adalah keputusan Mark sendiri. Namun, didalam hatiku masih menjanggal rasa tidak ikhlas dengan keputusannya Mark. Aku benar-benar merasa sangat nggak rela bila Mark pergi menjauh meninggalkan Westlife padahal akar permasalahannya adalah diriku.

Aku menghela nafas cukup panjang. Tanpa pikir panjang lagi, aku berbalik dan berlari mengejar Mark.







*Didepan Lift*
          “Mark!! Tunggu sebentar!!” teriakku yang membuat Mark berbalik dan menatapku heran.

          “Mark, do you remember? You promise to me, you’ll never leave me alone now, tomorrow, and to be forever. I need you, Mark. Westlife need you, too. Please, come back and don’t leave me again.” aku berlari memeluk Mark.

          “Emma, are you serious? Tell me, it’s true.” Mark balik memelukku. “Yap. So, don’t leave me please.” Pintaku kembali. “Hmm… Thanks so much, Emma. I promise, I’ll never leave you again now, tomorrow, next week, next month, next year, and to be forever.” Mark tersenyum lembut.

          “Mark?! Emma?! Apa yang sudah terjadi? Dan mengapa kalian berpelukan?” tiba-tiba seseorang datang bertanya dan membuat aku dan Mark melepas pelukan kami karena terkejut. (^-^)







#Anggap aja pada pake b.ing full ^-^
#Lanjut next time yaa (^-^)
#Maaf kalau bikin boring & Thanks for reading (^-^)v

Tidak ada komentar: