*BEST FRIEND OR LOVE (12)*
Aku
dan Bryan terbelalak kaget ketika membuka pintu salah satu ruangan studio
tersebut. “Oh, my God!!” kataku dan Bryan secara bersamaan.
“Kurasa
kita tidak salah tempat.” kata Bryan tanpa ekspresi di wajahnya. “Bryan,
sepertinya kita sudah terlambat ya?” tanyaku ke Bryan.
Ruangan
ini seperti kapal pecah. Bahkan tidak ada barang yang tertata rapi. Vas dan pot
bunga pecah semua. Kursi dan sofa juga semuanya terbalik. Begitu pula dengan
buku-buku di rak dan majalah serta koran yang berceceran dimana-mana. Pokoknya
lebih mengerikan dari rumah hantu. (Emang pernah liat yaa?? Kayaknya Cuma di
televisi doang “~,~)
‘Brukk!!
Prangg!! Pyarr!!’ suara gaduh kembali terdengar dan membuat aku dan Bryan
secara spontan langsung menoleh ke asal suara tersebut yang sepertinya berasal
dari salah satu kamar didalam.
“Bryan…”
aku mundur mendekat ke Bryan dengan bergemetaran. “Mereka pasti lagi main di
ruangan perapian didalam. Let’s go, Emma. Follow me!” Bryan mengajakku masuk
dan menutup pintu. (Main?? -.-‘’)
Bryan
menuju sebuah kamar dengan pintu terbuka dan aku masih mengikuti dibelakangnya.
“God, mudahan tidak terjadi apa pun terhadap Mark maupun terhadap Kian. Mudahan
aku dan Bryan belum sepenuhnya terlambat untuk menghentikan mereka.” aku berdoa
dalam hati.
Suara
mereka makin terdengar dan makin menusuk telingaku. Mereka saling memaki dan
berteriak mengucapkan kata-kata yang saling menyalahkan dan saling menjatuhkan
satu sama lain.
Aku
menarik lengan Bryan. Bryan menoleh dengan penuh keheranan melihatku menarik lengannya.
Aku hanya menundukkan kepala dengan badan yang makin bergemetaran.
“It’s
all my wrong. Andai saja aku tetap tinggal di Indonesia, kejadian ini tidak
mungkin terjadi.” Aku berkata dengan bergetar menahan air mataku yang ingin
jatuh.
“Emma,
it’s not your wrong. Tidak ada gunanya kamu menyesal dan menyalahkan dirimu
terus seperti ini. Please, don’t cry. That will be a better day. I promise to
you, baby.” Bryan memelukku dengan lembut dan hangat. Dari aku kecil Bryan
paling bisa membuat diriku tenang dengan kata-katanya dan pelukkannya.
“Thanks,
Bryan” aku membalas pelukannya. “No problem, baby. Please, don’t cry again. I
won’t see you cry. Promise??” Bryan mengangkat wajahku dengan kedua tangannya
secara lembut dan menatap mataku. “Yap. Promise!” aku tersenyum pada Bryan dan
membuat Bryan tersenyum lega.
Bryan
melepaskan tangannya dari wajahku. Aku menghapus air mataku dan cepat-cepat
menenangkan diriku yang kacau. Aku menghela nafas cukup panjang.
“Oke,
Bryan. I’m ready now.” aku tersenyum pada Bryan. Bryan menepuk pundaku dengan
lembut membuatku semakin nyaman bersamanya.
Aku
dan Bryan kembali menuju salah satu ruangan dari kamar ini.
Aku
dan Bryan kembali terbelalak kaget setengah mati melihat isi ruangan perapian
ini. Isi ruangan perapian ini bahkan sangat jauh lebih parah banget
dibandingkan ruangan diluarnya. (Bisa dibayangin dehh seberapa parahnya ‘^-^)
“Stop…!!
Mark!! Kian!! Shane??!!” teriakku yang membuat mereka langsung berhenti dan
menoleh ke arah aku dan Bryan yang masih berdiri didekat pintu. “Emma??!!”
Mark, Kian, dan Shane bertanya penuh heran secara bersamaan. (Biar perang tapi
masih tetap kompak :D)
“Kok
namaku nggak dipanggil sihh?? Emangnya aku ini patung ya?? By the way, kok
Shane ikutan juga ya??” Bryan memberikan pertanyaan bertumpuk yang aneh-aneh.
“Huft…
Bryan, aku juga bingung yang tentang Shane. Tapi, pertanyaanmu itu nggak
penting ditanyakan sekarang.” aku berbisik kepada Bryan. Entah karena dia marah
dengan jawabanku itu atau hal lain, Bryan duduk santai sambil menyalakan
televisi dan seolah ‘tak perduli dengan apa yang terjadi dihadapannya sekarang.
(Bryan ngambekan… -_-)
“Oke,
sekarang kembali ke permasalahan sebelumnya. Mark, Kian, dan Shane bisa kalian
jelaskan padaku sekarang persoalan apa yang membuat kalian menjadi seperti
ini?” pintaku ke Mark, Kian, dan Shane.
“Kian
dan Mark ingin merebutmu dari aku.” Shane menjawab duluan. “Tapi, aku bukan
milikmu lagi, Shane. Itu bukan alasan yang kuat.” aku menepis alasan Shane yang
membuat Shane terdiam seribu bahasa.
“Kenapa
kalian bertiga hanya diam saja? Apa karena memang benar bahwa akulah
penyebabnya, iya kan? Jawab!” amarahku ‘tak terkendali melihat mereka hanya
terdiam membisu.
Sudah
beberapa menit aku menunggu jawaban keluar dari mulut mereka, tapi ‘tak ada
satu pun yang membuka mulut menjawab pertanyaanku. “Huft… Ok, fine. Semua
sekarang sudah jelas kalau akulah penyebabnya.” aku menyerah menunggu jawaban
keluar dari mulut Mark, Kian, dan Shane.
Mendengar
perkataanku itu Bryan langsung berbalik dan mendatangiku. “Emma please don’t
say, you’ll come back to Indonesia. Don’t say that, please.” Bryan memegang
kedua pundakku dan menatapku seolah-olah memohon kepadaku.
“I’m
sorry, Bryan. ‘Cause I want come back to Indonesia. I want stay in Indonesia
with My Dad again. It’s the last way out. Sorry…” jawabku sambil melepaskan
tangan Bryan dari pundakku.
Mendengar
jawabanku itu bukan hanya Bryan yang terlihat lemas dan tidak terima, tapi
bahkan Mark, Kian, dan Shane juga terkejut sambil menatapku.
“Don’t,
Emma!! Kamu tidak perlu balik ke Indonesia, biar aku saja yang menjauh dari
kehidupan kalian dan aku pun akan keluar dari Westlife.” Mark mendekatiku.
Ucapan Mark tersebut membuat Bryan, Kian, dan Shane kembali terkejut tapi
mereka ‘tak berani melakukan apa pun.
“Mark,
aku nggak mau kamu keluar dari Westlife. Aku cuman nggak mau merusak
persahabatan kalian hanya karena diriku. Please… Cabut ucapanmu yang barusan
itu.” pintaku ke Mark.
“Emma,
I can’t lie again. I love Westlife, but I love you, too. Jadi, biarkanlah aku
pergi menjauh demi keutuhan Westlife. Emma, I want you smile to me. Please, for
the last.” Mark memegang kedua tanganku.
Aku
tersenyum mengikuti perintah Mark. Ketika melihatku tersenyum, Mark merasa puas
dan pergi dari hadapan aku, Bryan, Kian, dan Shane yang mematung.
Aku
tahu itu adalah keputusan Mark sendiri. Namun, didalam hatiku masih menjanggal
rasa tidak ikhlas dengan keputusannya Mark. Aku benar-benar merasa sangat nggak
rela bila Mark pergi menjauh meninggalkan Westlife padahal akar permasalahannya
adalah diriku.
Aku
menghela nafas cukup panjang. Tanpa pikir panjang lagi, aku berbalik dan
berlari mengejar Mark.
*Didepan Lift*
“Mark!! Tunggu sebentar!!” teriakku yang membuat Mark
berbalik dan menatapku heran.
“Mark, do you remember? You promise to me, you’ll never
leave me alone now, tomorrow, and to be forever. I need you, Mark. Westlife
need you, too. Please, come back and don’t leave me again.” aku berlari memeluk
Mark.
“Emma, are you serious? Tell me, it’s true.” Mark balik
memelukku. “Yap. So, don’t leave me please.” Pintaku kembali. “Hmm… Thanks so
much, Emma. I promise, I’ll never leave you again now, tomorrow, next week,
next month, next year, and to be forever.” Mark tersenyum lembut.
“Mark?! Emma?! Apa yang sudah terjadi? Dan mengapa kalian
berpelukan?” tiba-tiba seseorang datang bertanya dan membuat aku dan Mark
melepas pelukan kami karena terkejut. (^-^)
#Anggap aja pada pake b.ing full ^-^
#Lanjut next time yaa (^-^)
#Maaf kalau bikin boring & Thanks for reading (^-^)v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar