Minggu, 07 Juli 2013

Don't Love Me, Please! (21)




*DON'T  LOVE  ME,  PLEASE! (21)*



 



          “Morning, Mom.”, aku mencium pipi Mom. “Morning, dear”, sambut Mom. “Where’s Dad?”, tanyaku. “In his room.”, jawab Mom sambil masih sibuk membuat sarapan.

          “Yaudah, deh. Salamkan aja ya buat Dad. Sakura mau ke rumah Suzane dulu sebentar, Mom.”, ucapku meminta izin. “Yaudah, Mom panggil Edward dulu ya.”, Mom mulai berbalik. “Tidak perlu, Mom. Sakura udah sehat kok. Biar Sakura bawa mobil sendiri aja. See you, Mom”, pamitku sambil langsung mengambil kunci mobilku dan menuju garasi mobil.

          Diperjalanan aku mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Bryan bahwa aku telah menuju ke rumahnya. Lalu ku letakkan ponsel ku di atas tas tanganku. Tak lama kemudian ponselku berdering. Aku meraihnya kembali dan membaca sms Bryan yang masuk. Ternyata Bryan sangat antusias terhadap kedatanganku.






*Dirumah Bryan*
          Dengan perasaan gugup aku menekan bel rumah Bryan. Tak lama kemudian terlihat sesosok pria tampan dan tinggi yang ku kenal. “Masuklah, Sakura.”, ajak Bryan. “Okay, thanks”, jawabku.

          “Where’s Suzane?”, tanyaku. “That’s all my wrong…”, Bryan terdiam. “What do you mean?”, tanyaku padanya. Bryan tak menjawab pertanyaanku. Dia masih terus tertunduk diam. “Please, Bry. Tell me, what’s wrong?” aku memohon. “Ceritanya sangat panjang, Sakura. You will know.”, jawab Bryan. “Sudahlah, nanti akan ku ceritakan padamu disaat yang tepat. Sekarang, aku akan mengantarkanmu menuju kamar Suzane. Santai saja, dia sudah setenang daripada yang sebelumnya.”, ucap Bryan lagi. “Okay”, jawabku walaupun aku tak mengerti maksud dari ucapan Bryan.






*Di kamar Suzane*
          “Sakura, sebelumnya aku minta padamu tolong jangan kaget ya.”, Bryan menghentikan langkahnya didepan kamar Suzane dan memelankan suaranya. “Okay, I’m promise”, jawabku bingung.

          “Okay”, Bryan menghela nafas kemudian membuka pintu kamar Suzane secara perlahan.

          “Oh God!”, ucapku dengan nada berbisik dan berusaha menyembunyikan ekspresi terkejutku. Is she Suzane? What happen with her, God?

          “Suzane, Sakura was come. She wanna meet you.”, ucap Bryan yang membuat Suzane menoleh.

          “Sakura…”, ucap Suzane memanggil namaku dengan nada yang terdengar samar. “Ya?”, tanyaku mendekat.

          “I’m sorry. Really really sorry. Aku memang manusia paling berdosa. Khianati persahabatan demi keinginan semu yang bodoh. Aku memang tak pantas menjadi sahabatmu. Aku memang pantas dihukum begini. Mark is yours, not mine. He was falling in love with you, not me. Youself perfect for him, not myself.”, dimatanya terlihat genangan air mata yang hampir menetes. “I was forgive you.”, ucapku tersenyum.

          “Hey! Look! Cinta memang buta. Sama seperti dirimu. Namun, sepertinya aku lebih parah bodohnya. Aku beberapa kali mencoba bunuh diri agar bisa bersama Nicky, it’s very stupid. Look! Kamu pernah dengar nggak sebuah kata-kata motivasi dari Gouw Ivan Siswanto?” tanyaku. Suzane hanya menggelengkan kepalanya.

          “You’re precious! You deserve the best man at the right time. If today is not your time, tomorrow will be yours.”, aku membelai rambut Suzane.

          “Mark is yours, not mine Suzane. The love is just need a little of time. Aku akan menjadi saksi pernikahanmu dengan Mark kelak. Believe me, Suzane.”, ucap ku kembali seraya tersenyum lembut.

          “Thanks so much, Sakura. You’re the best of the best friend that I ever have before. I hope, you want to be my best friend again. I miss our moments together. Please..”, mohon Suzane. “Why not?”, ucapku tanpa ragu sedikit pun. Suzane terlonjak kaget dan langsung memelukku dengan erat. “Thanks so much, friend”, ucapnya samar.

          Suzane melepas pelukannya. Tiba-tiba, “Sakura, kamu sakit? Kok kamu mimisan?”, tanyanya khawatir. “What?”, aku pun terkejut.

          Oh my God! Aku melihat darahku mengalir keluar dari hidungku. Damn it!

          “Sakura, kamu sakit apa? Apa perlu aku panggilkan dokter?”, tanya Bryan ikut tersentak kaget dengan ucapan Suzane. “Tidak perlu. Mungkin aku hanya kecapekan saja kok. Excuse me, I want to go to the toilet.”, aku langsung berlari menuju toilet yang kebetulan bersebelahan dengan kamar Suzane.






*Di Toilet*
          “Argh! Kenapa harus terulang sih?! Sepertinya aku harus menemui dokter segera. Sudah hampir tiga bulan aku tidak kemo. Ini pasti salah satu efeknya.”, batinku seraya membersihkan sisa darah yang mengalir di hidungku.






*Beberapa menit kemudian*
          “Maaf, Suzane, Bryan. Aku pamit pulang ya. Sepertinya aku kelelahan karena semalam begadang untuk mengerjakan tugas kuliah. Maybe tomorrow I’ll come again.”, ucapku pamit.

          “Oh, oke. Get well soon, Sakura. Ku harap kamu nggak jera datang menjengukku.”, ucap Suzane.

          “Baiklah, aku akan mengantarmu sampai pintu depan.”, ucap Bryan. “Okay”, jawabku.






*Dipintu depan*
          “Pintu ini akan selalu terbuka untuk kedanganmu, Sakura.”, kata Bryan. “Hahaha.. Thanks, Bry. See you”, ucapku berpamitan.

          “Sakura”, tiba-tiba Bryan menahan lenganku. “Ada apa?”, tanyaku penasaran. “Nothing. Aku hanya ingin bilang, kalau butuh bantuan seseorang, just call me.”, Bryan melepaskan genggamannya perlahan. “Ok, thanks”, jawabku tersenyum seraya pergi melaju dengan mobilku.






*Didalam mobil*
          Tadi ekspresi Bryan terlihat bahwa ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting namun ia ragu untuk mengungkapkannya. Apa ya yang sebenarnya ingin Bryan katakan padaku? Ia terlihat kecewa. Ku harap itu bukanlah sesuatu yang membuatku khawatir.






*Di Rumah Sakit*

          “Lain kali, tolong anda tidak terlambat lagi untu kemotherapi. Karena kanker otak anda sungguh memprihatinkan. Sepertinya, untuk sementara kemotherapi ini efektif bekerja pada kanker darah anda saja. Untuk kedepannya, kita harapkan kemotherapi ini juga dapat bekerja efektif pada kedua kanker yang mengidap anda. Terima kasih dan permisi.”, jelas kata dokter pribadiku. Aku hanya dapat menghela nafas.

          Aku menuju apotik rumah sakit untuk mengambil obatku yang telah habis.

          Kemudian tiba-tiba, ‘Brakk!’. Aku menabrak seseorang. “Sorry. Saya tidak sengaja.”, aku berdiri dan meminta maaf pada seorang lelaki yang sepertinya ku kenal. “Shane?” tanyaku. Lelaki itu menoleh setelah ku panggil namanya. “Sakura?” tanyanya balik. Tebakanku benar. Lelaki yang tak sengaja ku tabrak itu Shane Filan. Yup, Shane Steven Filan. Sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya.

          “What are you doing in here?”, tanyaku. “Umm.. Aku hanya membelikan obat-obat dari resep dokter untuk Kate. Karena persediaan obatnya disana kurang lengkap, jadi aku memutuskan untuk ke sini. Kate tidak mungkin membelinya sendiri dengan kondisi seperti itu kan?”, Shane terlihat salah tingkah.

          “Ah, lupakan. How about you, Sakura? What are you doing in here?”, tanya Shane balik. “Aku hanya ingin membeli vitamin untuk menjaga kesehatanku. Maklumlah, tugas kuliah makin menumpuk. Apalagi aku harus mengejar ketertinggalanku yang selama sebulanan itu.”, keadaan pun berbalik dan kali ini aku yang menjadi salah tingkah.

          “Wait a minute, Shane. Bagaimana kita jenguk kak Kate barengan aja. Aku ambil obat, eh maksudku, aku mau mengambil vitaminku dulu sebentar.”, aku langsung berbalik menuju salah seorang apoteker.

          Setelah mengambil dan membayar obatku, aku langsung menuju parkiran tempatku memarkir mobilku. “Tunggu sebentar ya, Sakura. Aku mau memberitahukan supirku untuk langsung pulang agar ia tak menunggu ku lagi.”, pamit Shane. “Baiklah, aku tunggu di mobil ya?”, tanyaku. “Okay”, jawab Shane.

         




*Beberapa saat kemudian*

          Shane masuk ke dalam mobilku. “Gimana?”, tanyaku. “Ready.”, jawab Shane seraya memakai sabuk pengamannya. “Oke”, jawabku singkat.

          “Shane, would you mind if I ask something?”, tanyaku perlahan. “Silahkan.”, jawabnya santai. “I hope you answer my question with honesty.”, pintaku seraya tetap memperhatikan jalan. “Okay”, jawab Shane.

 “Are you fall in love with my sister?”, tanyaku to the point. Shane langsung terkejut mendengar pertanyaanku. “What do you mean?”, tanya Shane tersedak. “Umm… Nothing. Cuma beberapa sikap mu terkesan mengatakan bahwa perhatianmu itu lebih dari sekedar perhatian seorang sahabat, apalagi ketika di apotik tadi aku sempat melihatmu tersipu malu ketika kutanyakan tentang Kate. Jujur sajalah Shane. Aku pasti merestuinya kok, asal kau tidak menyakiti Kate saja baik hati maupun fisiknya. Ya, aku pun tau kau takkan melakukannya. Kau bahkan tak bisa membentak perempuan, aku kagum dengan sifatmu yang itu. So, I believe in you, you will keep Kate safe. Tell me the truth, Shane…”, pintaku.

“Okay… Okay… Aku mengakuinya, I’m falling in love with Kate. She’s a wonderful girl for me. Ya aku tau tingkahnya terhadapmu sebelum-sebelumnya sudah kelewat batas keterlaluan, namun itu hanya faktor dari kebutaan cintanya dan setiap orang pasti dapat berubah kok.”, mata Shane berbinar.

 “Umm… Of course. Tapi, ada syaratnya…”, tiba-tiba sebuah ide cemerlang muncul dikepalaku. “Ada syaratnya juga??”, tanya Shane bingung. “Hey, didunia ini nggak ada yang gratisan wahai calon kakak ipar…”, jawabku seraya menjulurkan lidahku tanda mengejeknya. “Calon kakak ipar?”, tanya Shane lagi dengan salah tingkah. “Hahaha… Sudahlah, di-amin-kan sajalah. Doaku itu bagus loh. Jarang-jarang aku berdoa seperti itu. Hahaha.”, tawaku. “Iya iya.. Amin.. Oh iya, by the way, syaratnya apa?”, tanya Shane kembali. “Hmm… syaratnya adalah…………”, aku memberitahukan ide syarat yang sempat terlintas di kepalaku.









# PART  OF  KATE #

*Di ruangan rumah sakit tempat Kate dirawat*

          “Shane lama banget sih. Sakura juga belum datang. Padahal mereka janji akan datang hari ini”, ucapku mengeluh.

          “Sedikit waktu yang kau miliki, luangkanlah untukku. Harap secepatnya datangi aku. Sekali ini ku mohon padamu, ada yang ingin ku sampaikan. Sempatkanlah…”, aku mengirim pesan pada Shane.

          Sejak tadi pagi, Shane tak ada membalas satu pun pesan yang ku kirimkan padanya. “Ku ingin marah, melampiaskan. Tapi ku hanyalah sendiri disini. Ingin ku tunjukkan pada siapa saja yang ada bahwa hatiku kecewa!”, ucapku kesal.

          “Sedetik menunggumu disini, seperti seharian. Berkali ku lihat jam ditangan demi mengulur waktu. Tak kulihat tanda kehadiranmu yang semakin meyakiniku, kau tak datang.”, aku hanya dapat berbaring di ranjang dengan berulang kali menghela nafas dan mengecek ponselku jikalau Shane ada membalas salah satu pesan yang ku kirimkan padanya.

          “Shane lama banget sih dari tadi. Padahal sudah belasan bahkan puluhan pesan telah ku kirimkan padanya.”, ucapku masih mengeluh.

          ‘Tok tok tok’ tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku terdengar. “Good afternoon, Kate”, tiba-tiba Shane datang bersama Sakura. “Bagaimana keadaanmu?”, tanya Sakura. “Sama seperti sebelumnya”, jawabku.

          “Come in” pintaku. “Ok. Thanks” jawab mereka hampir bersamaan. “Sakura, I wanna tell you something.” aku menutup pintu seraya membuka pembicaraan. “What’s that? Sepertinya hal yang penting.” tanya Sakura penasaran seraya duduk disalah satu sofa. “Kamu boleh kok berhubungan sama Bryan. I found special person more than Bryan.” Jawabku berterus terang. “Really? Who’s that lucky person?” tanyanya lagi. Aku hanya melirik Shane. Shane tersenyum dan berkata, “It’s me.”. “Really? I’m so happy to hear that. You’re the lucky girl, Kate. I believe, Shane will always make you happy and never hurting you. Oh my sister, I’m so happy right now.”, Sakura memelukku. “Thanks, dear.”, jawabku. Dia hanya tersenyum.









#PART  OF  EDWARD#

*In home*

          “Morning, Mom, Dad.” Aku menarik salah satu kursi di meja makan dan bersiap untuk sarapan. “Hey Edward, Mom tell me about your problem with Sakura… Why…” belum selesai Dad mengatakan semuanya, aku langsung mendorong kursiku kebelakang. “Aku benci membicarakannya.” Jawabku seraya berdiri. “Hey Edward, what’s wrong? Sit down and we talk about it until that problem finish.” Tegas Dad. “Edward, ikuti saja yang dipinta Dad.”,  ucap Mom lembut. “You don’t know a thing. There’s a secret that I can’t tell you. I want to go to mini market to buy something.”, aku mengambil kunci mobilku dan seraya pergi tanpa perduli Dad yang memanggil namaku dengan nada amarahnya.






*In the my car*
“Sampai kapan aku menyimpan rahasia ini? Forget it, Edward! Dia saja tidak perduli dengan sakitnya, mengapa kau yang harus memperdulikannya?” aku menyalakan mesin mobilku dan  berniat menuju mini market.





  
*4 jam kemudian*

         Mesin mobil ku biarkan menyala dan aku sedaritadi hanya duduk diam dikursi mobil. Aku diam melamun, entah apa saja yang telah ku pikirkan sedari tadi. Terlalu begitu banyak beban dibenakku.

          Tiba-tiba terdengar suara sirine yang membuyarkan segala lamunanku. Seketika aku tersadar dan bertanya-tanya, “Why am I in the hospital?”. Padahal tujuanku kan mini market yang hanya 20 menit ditempuh menggunakan mobil dari rumah dan jarak rumah sakit bila ditempuh dari rumah sekitar 3 jam menggunakan mobil, bagaimana bisa aku sejauh ini? Oh man, what’s wrong with you Edward?!

          Ku lihat mobil ambulan berhenti didepan mobilku. Hiruk pikuk pun terjadi ketika para perawat hendak menurunkan pasien tersebut. Sedikit demi sedikit badan pasien tersebut terlihat, entah mengapa mataku enggan beralih dari pemandangan tersebut. Tiba-tiba, “Tunggu dulu! Apa? Dia? Apa yang terjadi dengannya?”. Samar-samar tapi pasti aku mengenal pasien tersebut.






*30 menit kemudian*

“Dok, apa yang terjadi dengannya?” tanyaku setelah menunggu cukup lama diluar ruang UGD. “Mari kita bicarakan diruangan saya.”, jawab dokter tersebut. “Baik, Dok.”, aku mengikuti dokter tersebut menuju ruangannya.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Dok?”, tanyaku langsung seraya duduk ketika sampai diruangan Dokter tersebut. Dokter tersebut menghela nafas yang makin membuatku khawatir.  “Hal yang biasa terjadi jika tidak disiplin. Saya harap ini pertama dan terakhir kalinya terjadi hal seperti ini. Saya tahu Sakura adalah gadis yang kuat, tapi tidak dengan tubuhnya. Memang benar mental yang kuat juga dibutuhkan dalam proses penyembuhannya, tapi jika dengan terlalu memaksakan tubuhnya yang lemah, anda tahu sendiri apa akibat yang akan ditimbulkan. Kali ini, sepertinya jalan satu-satunya adalah operasi. Kondisi Sakura jauh lebih memburuk dibandingkan dengan saat pertama saya menangani dia. Tolong dipikirkan pak, Sakura harus segera dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya. Kemungkinan hidupnya hanya 25% jika tidak dioperasi, namun ada kemungkinan hidup 50% jika melalui jalur operasi. Tolong pertimbangkan matang-matang, kami harus melakukan tindakan tersebut sesegera mungkin.”, terang dokter tersebut.

Mendengar semua hal itu semakin membuat beban dipundakku dua kali lipat lebih berat dari sebelumnya. Apa yang harus ku lakukan, Ya Tuhan? Adik tersayangku telah diambang. “Baik, Dok. Akan saya konfirmasikan secepatnya. Terimakasih, permisi.”, aku keluar dari ruang Dokter dan langsung mencari ruangan Sakura setelah ia dipindahkan dari UGD.

Sesampainya aku didalam ruangan tersebut, yang ku lihat hanyalah seorang gadis mungil nan elok rupawan tergulai lemah tak berdaya bagaikan mawar yang hampir layu. Tuhan, tak ku biarkan mawar itu menjadi benar-benar layu. Walaupun tidak mungkin untuk membuat mawar tersebut kokoh berdiri, akan tetap ku perjuangkan memperpanjangkan hidupnya. I’ll do anything, cause she’s my everything right now. I swear, I’ll never ever ever and ever hurting her again. Jika bisa aku mohon Tuhan, biarkan aku yang berada di posisi adikku. Tak tega melihatnya menderita. Sudah cukup banyak luka dihatinya, sudah cukup banyak rasa sakit yang ditahannya, tak ingin melihatnya menderita lebih dari ini.

“Kakak?”, tiba-tiba aku merasakan belaian lembut nan lemah. “Sakura? Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa ada yang sakit?” tanyaku khawatir. Dia menggeleng dengan perlahan seraya tersenyum kecil. “Enggak, kak. I’m fine. Sakura nggak kenapa-napa. Kakak jangan nangis.”, tangan kecilnya berusaha menghapus air mata yang membanjiri pipiku dengan lemahnya. “I’ll do anything for you. You’re my everything right now, Sakura. Bahkan jika harus bertukar nyawa, kakak rela. Apapun akan kakak lakukan demi kesembuhanmu, demi dapat melihat masa depanmu, demi mewujudkan semua cita-citamu. Kakak janji, kamu akan sembuh. Tak akan ada lagi setetes air mata kesedihan dan kesakitan dipipimu, tak akan ada lagi rasa sakit ditubuhmu, tak akan ada lagi kepedihan dihatimu. Kakak janji, sayang. I love you, dear.”, aku memeluknya dengan erat.

Sakura melepaskan pelukanku perlahan. “I love you, too. Kakak, Sakura akan bahagia bila melihat semua orang-orang yang Sakura sayangi bahagia dan berusaha membuat semua happy ending. Sakura nggak mau dan nggak akan pernah mau bertukar nyawa dengan kakak. Sakura sayang kakak, Sakura nggak mau membuat Kak Edward kehilangan masa depan, membuat kakak merasakan rasa sakit, membuat kakak kehilangan cita-cita, mimpi, impian. Biar kak, biarkan Sakura menjalani takdir Sakura.”, kata-kata tegar dan senyum khasnya itu membuatku makin tak ingin melepaskannya begitu saja.

“Look! Enggak, ini bukan takdirmu. Ini hanya ujian. Setelah ini penderitaanmu akan berakhir dan kamu akan bahagia dengan semua impianmu. Trust me, dear. I won’t let you go.”, aku berusaha tegar dihadapan adikku yang memang ku akui dia sangat kuat dan tegar.

“Did you forget something? Impianku cuma sama Nicky. Just with Nicky, it’s all that I want.”, dia menggenggam jari-jariku dengan lemah. “Jangan, Sakura. Tolong jangan katakana hal yang lebih dari itu.”, begitu sakit rasanya dadaku mendengar hal itu. Tak terbayangkan rasa sakit yang lebih jika hal itu benar-benar akan terjadi.

“Okay. Kak, tolong belikan beberapa kertas beserta sembilan amplop dan sebuah pena. Oh iya, tolong lem juga ya kak.”, pintanya. Tanpa berpikir dua kali dan tanpa bertanya untuk apa, aku langsung bergegas keluar rumah sakit untuk mencari semua barang yang diminta Sakura.






*15 menit kemudian*
         
          “Ini semua barang yang kamu minta.”, aku memberikan sebuah kantung plastic yang berisi barang-barang yang ia minta. “Thanks kak.”, senyum khas itu lagi.

          “Kakak istirahat aja, nggak apa kok. Nanti kalau Sakura sudah selesai, Sakura bangunin Kakak.”, pintanya. “Baiklah”, jawabku simple sambil bersender di sofa. Sambil memperhatikannya menulis perlahan-lahan di kertas seraya berpikir.

          Satu-demi satu kertas yang telah ditulisnya, dilipat dan kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing amplop yang telah ia beri tanda. Amplop tersebut pun satu-persatu di lem olehnya.

          “Kakak!”, serunya memanggilku. “Ya?”, tanyaku seraya melangkah mendekatinya. “I know, jalan satu-satunya adalah operasi yang akan kakak pilih. Tapi Sakura mohon kak jika operasi Sakura gagal, tolong berikan amplop-amplop ini pada nama yang telah Sakura tulis. Buat Kakak juga ada. Tapi ingat, jika hanya operasi Sakura gagal. Jika berhasil, tolong kasih ke Sakura lagi ya kak.”, pintanya memohon. “What do you mean? You’ll be fine. Kamu akan sembuh Sakura, percaya sama kakak.”, tanganku gemetar menggenggam amplop-amplop tersebut.

          “Impossible is nothing, Edward. Everything could be happen.”, ucapnya dengan senyuman. “Sakura, kamu mimisan lagi? Sakura? Sakura?! Hey, Sakura?!! Did you hear me?! Sakura?!!”, aku berusaha memanggil namanya.

          Aku segera meraih ponselku dan menghubungi dokter pribadi Sakura. “Dok, Sakura pingsan lagi. Saya akan menandatangi berkas operasi tersebut. Tolong lakukan operasinya segera, Dok.”, ucapku buru-buru. “Baik, Edward. Saya akan segera kesana.”, jawab Dokter tersebut. Ku matikan dan ku letakkan ponselku di saku celanaku kembali.

          Tak lama kemudian Dokter datang membawa berkas operasi. “Ini berkasnya, Edward. Bisa diserahkan di bagian administrasi. Ini harus persetujuan orang tuamu karena biayanya yang tidak murah. Operasinya bisa kita lakukan nanti malam. Saya akan memeriksa kondisi adikmu dulu, permisi.”, ucap Dokter tersebut seraya masuk ke dalam ruangan.

          “Aku harus memberitahu Mom dan Dad, mereka memang harus tau”, batinku. Aku langsung bergegas pulang.

          Sesampainya di rumah, tanpa berpikir dua kali dan dengan agak berbasa basi aku langsung menuju dapur dan memberitahukan kepada Mom. “Mom, I wanna tell something to you. It’s about a secret between me and Sakura.”, ucapku dengan sedikit terengah-engah.

          “Oke oke. Tenangkan dirimu dulu ya.”, Mom menyuruhku duduk disalah satu kursi meja makan. Mom mengambilkanku segelas air dan duduk disampingku. “Apa yang akan kamu ceritakan, Edward?”, tanya Mom.

          “Sebenarnya Sakura.. Sakura.. Sakura had cancers, Mom. Sorry, I’m never tell you.”, terangku langsung. “What? Are you kidding me, Edward? That’s not funny.”, Mom terlihat kaget. “Mom… Look! I’m serious, Mom. Trust me. Ini berkas untuk operasinya Sakura, Mom. Jalan satu-satunya hanyalah operasi untuk menyelamatkan Sakura, Mom. Walau kemungkinan berhasilnya hanya 50%. Dan Sakura harus dioperasi malam ini.”, aku menyerahkan berkas dari Dokter tadi.

          “Oh God, I hope I’m just dreaming.”, Mom mengambil berkas tersebut dan membacanya. “Me, too.”, ucapku. Tiba-tiba Mom tak sadarkan diri dan terjatuh dari kursi meja makan. “Mom!!”, teriakku.

          “Apa yang terjadi?”, tiba-tiba Dad datang. “Mom pingsan setelah aku memberitahukan bahwa Sakura mengidap kanker dan harus dioperasi mala mini juga.”, ucapku terus terang sambil berusaha mengangkat Mom ke sofa ruang tengah. “Apa katamu? Sakura mengidap kanker?”, tanya Dad terkejut.

          “Ini berkasnya, Dad. Ini satu-satunya jalan. Edward menyesal baru memberitahukannya sekarang, Dad.”, aku menyerahkan berkas sambil tertunduk penuh sesal. “Kau jaga Mom, Dad akan ke rumah sakit untuk membayar biaya operasinya. Jangan tinggalkan Mom. Sakura ada di ruangan apa?”, Dad buru-buru mengambil jaket, dompet, dan kunci mobilnya. “Dia ada diruangan Dove-126A.”, jawabku.

          Terdengar suara mesin mobil mulai menjauh dengan cepatnya. Aku hanya terdiam duduk di lantai. “God, safe my little sister.”, doaku dalam hati sambil menunggu Mom sadar.

          Tak berapa lama kemudian Mom tersadar bersamaan dengan deringnya ponselku, “Sebentar, Mom.”, ucapku berjalan agak menjauh dari Mom. “Ya, Dad?”, tanyaku. “Edward, adikmu… Sakura…”, jawab suara diseberang sana. “Sakura? Sakura kenapa, Dad?”, tanyaku terkejut dan khawatir. (^-^)






#Next time again ^-^
#Thank you so much for reading my story (^-^)
#I’m sorry if my story make you feel boring (^-^)v