Rabu, 28 November 2012

Don't Love Me, Please! (17)



                                     *DON'T LOVE ME, PLEASE! (17)*







          “Sakura? My dear, kau sudah sadar sayang?” mataku terbuka perlahan. Penglihatanku masih buram namun aku tau itu suara Mom.

          Aku menoleh menuju asal suara itu. “Oh thanks, God! My dear, are you ok now?” tanya Mom lagi. Aku berusaha bersuara, namun suaraku tak keluar. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku. Penglihatanku juga masih tidak jelas.

          “Dok, ada apa dengan putri saya?” tanya sebuah suara berat itu yang ku tau pasti itu suara Dad.

          “Maaf, Pak. Permisi, silahkan anda dan yang lainnya menunggu diluar. Sakura baru sadar, jadi saya akan memeriksa kembali keadaannya. Silahkan.” Dokter mempersilahkan Dad dan yang lainnya untuk keluar dari ruanganku menunggu diluar.

          “Oh God, What’s happen about me again?” gumamku.









#BRYAN VERSION#
                   “Baru saja aku merasa bahagia karena Sakura telah kembali sadar, namun kini feelingku merasakan ada yang mengganjal ketika melihat sakura tak bisa berbicara” aku duduk di bangku yang berada tepat didepan ruangan Sakura.

          “Hey!” Mark mengkagetkanku dan membuyarkan lamunanku. “Apa?” tanyaku dengan nada yang datar.

          “Aku tak pernah melihat Kate lagi. Kau tau mengapa?” tanya Mark menatap lurus ke jendela ICU. “Huft! Dia lagi. I don’t know” jawabku agak sewot.

          “Sudahlah,  jangan berusaha berbohong padaku. Seperti yang kita semua tau bahwa Kate begitu membenci Sakura dan yang seperti yang telah kita ketahui juga bahwa salah satu alasan terbesar Kate ingin membunuh Sakura adalah demi mendapatkan dirimu” ucap Mark dengan tanpa ekspresi yang berarti.

          Aku menghela nafas panjang. “Beberapa hari yang lalu dia menelponku ditengah malam saat aku baru pulang dari sini.” Aku kembali menghela nafas panjang.

          “Lalu?” tanya Mark penasaran. “Aku menyuruhnya untuk tidak menghubungiku kembali dan menjauh dari kehidupanku dan Sakura” jawabku agak pelan.

          “Hey, Bryan! Look! Kejahatan tak harus selalu dibalas dengan kejahatan juga. Tuhan tidak menyukai umatnya yang pedendam. Keep calm, Bry!” ucap Mark sambil menepuk pundakku.

          Seketika dokter pun akhirnya keluar dari ruangan Sakura. Sontak saja Mommy Sakura pun langsung mendatangi dokter tersebut sebagai mana biasanya.

          “Bagaimana, Dok? Sakura baik-baik saja kan? Putri saya tidak kenapa-napa kan?” Mommy Sakura terlihat begitu khawatir. Terlihat sekali bahwa ia tak ingin kehilangan Sakura.

          “Kondisi fisiknya mulai membaik, namun…” dokter memberhentikan pembicaraannya. “Namun apa, Dok?” tanya Mommy Sakura kembali. Dokter itu pun menghela nafas panjang. “Namun ia terancam buta dan pita suaranya rusak. Sepertinya itu akibat pada saat kejadian dia dicelakai oleh kakaknya tersebut. Saya tidak tau pasti apa penyebabnya, namun kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan Sakura. Maaf saya permisi dulu” dokter itu pun langsung pergi meninggalkan Mommy Sakura yang kembali terduduk lemas mengetahui apa yang telah terjadi pada putrinya.

          “Ya Tuhan, cobaan berat apa lagi yang kau berikan pada Sakura?” ku kembali terduduk dibangku dengan lemas. Ku lihat Edward berkali-kali memukulkan kakinya ke dinding. Lalu Edward pun seraya pergi entah kemana. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengikutinya.









*Diatap gedung Rumah Sakit*
          Aku bersembunyi dibalik tembok pintu tangga ketika ku lihat Edward berhenti. Berkali-kali Edward memukulkan tangannya ke dinding. Hingga ku lihat darah segar mengalir di jemari-jemari pada kedua tangannya. Aku pun langsung berlari dan mendorong Edward agar ia menghentikan perbuatannya tersebut.

          “Brian? Kenapa kau bisa ada disini? Apa maumu?” tanya Edward kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba. “Seharusnya aku yang bertanya, apa maumu hingga melakukan hal tersebut?” tanyaku mendekati Edward secara perlahan.

          “You don’t a thing! Kau tidak mengerti apa yang sedang ku rasakan! Aku telah gagal! Aku telah gagal menjadi kakak yang baik yang selalu melindungi adiknya! Aku telah gagal menjadi seorang kakak! Aku memang tak pantas menjadi seorang kakak dari malaikat kecil seperti Sakura! Aku telah gagal membuatnya bahagia! Aku yang membuatnya kehilangan satu ginjalnya untuk didonorkan padaku pada saat dia masih berumur 15 tahun! Aku membuat ia kehilangan kebahagiaan masa kecilnya ketika aku meminta untuk kembali ke Dublin! Aku telah membuatnya kehilangan cinta sejatinya! Harusnya pada saat itu aku berlari lebih cepat dari Nicky! Namun kenapa larinya Nicky begitu terlihat cepat bagaikan didorong oleh seseorang! Dan kini karena aku tak sungguh-sungguh menjaga dirinya pada saat ia koma, kini dia terancam mengalami kebutaan! Aku benar-benar telah gagal! Aku merebut semua yang ia butuhkan! Aku gagal!” Edward memukul-mukulkan tangannya yang telah berdarah itu ke lantai atap beberapa kali.

          “Aku pun telah gagal… Seharusnya pada saat itu aku menolong Sakura, bukannya hanya berdiam diri karena kaget. Aku juga takut kehilangan Sakura… Aku juga masih sering merasa iri dengan Nicky. Semenjak awal Nicky dan Sakura bertemu saat pesta ulang tahunku yang ke 19 mereka berdua seperti memiliki ikatan batin yang tak bisa diputuskan dengan cara apapun walaupun Nicky dan Sakura tak pernah saling berkata apa pun.” Aku terduduk disamping Edward.

          “Tapi, Sakura masih membutuhkan kita. Aku yakin jika Sakura tau kau melakukan hal seperti ini, dia pasti akan langsung menangis kecewa dan sedih melihat kakak yang begitu disayangi dan dicintainya melakukan hal bodoh hingga terluka hanya karena dirinya.” Aku menatap kearah langit senja yang begitu cerah nan indah.

          Ku dengar Edward menghembuskan nafas panjang berkali-kali untuk menenangkan dirinya yang tengah dilanda emosi kekecewaan sekaligus penyesalan pada dirinya sendiri. Aku pun terdiam membisu. Suasana pun terdengar begitu sunyi.

          “Baiklah, sebaiknya kita kembali dan melihat keadaan Sakura. Sakura pasti mencari kita.” Edward berdiri sambil memegang tangannya yang berdarah.

          “Okay, tapi sebelumnya kita sebaiknya mendatangi ruang UGD untuk mengobati luka dikedua tanganmu.” Ucapku seraya berdiri. “Baiklah” jawab Edward tersenyum.











#SAKURA VERSION#
          “Sakura?” tiba-tiba sebuah suara lembut memanggil namaku. “Mom? Is it you? Kenapa mataku diperban, Mom?” tanyaku dengan suara yang masih serak.

          “Yes, it’s me honey. Maaf Mom harus mengatakannya, tapi kamu terancam buta sayang. Makanya agar hal itu tidak terjadi, matamu harus diperban sayang.” Jawab Mom terdengar menahan tangisannya.

          “Mom? Do you crying?” tanyaku mencari-cari sumber suara Mom. Mom meraih tanganku dan meletakkannya dipipinya. “Sudahlah Sakura. Mommy tidak apa-apa. Pesan dokter kau jangan terlalu banyak berbicara, karena ada masalah juga pada pita suaramu” sahut sebuah suara yang ku kenal pasti yaitu suara Daddy.

          “Oke, but where’s Edward?” tanyaku berusaha mengeluarkan suaraku agar terdengar jelas. “Tadi dia katanya membeli sesuatu bersama Bryan, biar ku cari mereka.” Terdengar suara kaki berlari menjauh.

          Sepertinya tadi itu suara Mark. Ya Tuhan, kuatkan aku dalam menyelesaikan semua masalah yang tengah ku hadapi ini. Bantulah aku untuk dapat mencari jalan keluar dari semua akar permasalahan ini. Dan mudahkanlah langkahku dalam mencari kebenaran.

          Tiba-tiba terdegar suara pintu terbuka dan langkah kaki mendekat. “Sakura? Sudah merasa baikan?” aku yakin itu adalah suara Kak Edward. Aku mengangguk tersenyum.

          “Edward, apa yang terjadi dengan kedua tanganmu? Kenapa diperban segala?” tanya Dad. Sontak saja aku yang mendengarkan langsung kaget. “Tangan Kak Edward kenapa? Ada apa? Kakak gak kenapa-kenapa kan?” tanyaku langsung.

          “Sshh!! Sakura kamu jangan terlalu banyak bicara. Kakak gak apa kok adekku sayang. Tadi cuman jatuh dari tangga gara-gar mau menghindar dari pasien. Sudahlah, besok juga paling udah sembuh kok.” Jawab Kak Edward.

          Namun jawaban Kak Edward tak mempuaskanku. Feelingku merasa bahwa ada yang disembunyikan Kak Edward kepadaku. Namun ku tak mampu membantah, aku pun hanya terdiam membisu.

          “Sudahlah, tidak perlu dibahas kembali. Ini sudah mulai menjelang malam, sebaiknya kalian pulang saja. Om dan Tante juga akan pulang. Biar Edward saja yang menjaga Sakura.” Kata Dad.

          “Baiklah, Om. Kalau gitu kami permisi pulang. Good well soon ya Sakura.” Brian, Kian, dan Mark keluar dari ruanganku. “Ayo, Mom. Kita juga harus pulang” Dad menarik kedua lengan Mom dengan lembut. Mom makin menggenggam tanganku dengan erat saat Dad berusaha membawa Mom pulang.

          “Honey?” ucap Dad bingung dengan sikap Mom. “I won’t to come back home. I’ll be here with Sakura.” Jawab Mom meronta.

          “Iya, Daddy tau. Namun, sekarang Sakura juga butuh istirahat. Besok pagi kita pasti kembali lagi disini. Kita juga harus mengkemaskan baju-baju Sakura.” Akhirnya bujukan Dad membuat hati Mom yang semulanya keras kini mulai luluh. Dad langsung membawa Mom pergi.

          “Ok, Sakura. Jika ada yang ingin kamu bicarakan dengan Kakak, kamu bisa menuliskannya di kertas ini” Kak Edward memberikanku sebuah buku kosong beserta sebuah pulpen.

          Aku mengangguk, menandakan bahwa aku mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh Kak Edward. Aku pun mulai menulisnya, “Kak, Kakak tidak membocorkan kepada siapa pun kan akan penyakitku ini?” aku langsung menyerahkan buku yang ku pegang pada Kak Edward.

          Kak Edward mulai membaca tulisanku, lalu Kak Edward menghela nafas panjang. “Kau masih saja memikirkan hal itu. Tenang saja my little sister, rahasiamu aman kok.” Kak Edward tersenyum padaku lalu kembali menyerahkan buku itu padaku. Aku membalas senyuman Kak Edward, Kak Edward langsung mengelus-elus kepalaku dengan lembutnya.

          Aku kembali menulis, “Kak, Kakak bisa bantu aku gak?” aku memutar balikkan kertasku ke hadapan Kak Edward agar ia dapat membacanya. “If I can. Apa yang harus kakak bantu?” tanya Kak Edward.

          Aku kembali menulis, “Bantu Sakura untuk menjodohkan Mark dengan Suzane, please…” aku memutar kembali bukuku ke hadapan Kak Edward. “What? It’s impossible. How to can make Mark fall in love with Suzane?” tanya Kak Edward frustasi.

          Aku kembali menulis, “Nothing is impossible, I believe it. Please… It’s between my life and my died. Please… I just having you to can help me… Please… I know you’re my hero” aku kembali membalikkan bukuku.

          Setelah Kak Edward membaca tulisanku yang terakhir, Kak Edward malah berulang kali menghela nafas dan terlihat berpikir keras. “Ok, akan kakak coba. Ini semua hanya karena kamu loh yaa” akhirnya Kak Edward mengabulkan permohonanku. Aku pun langsung tersenyum bahagia.

          “Yasudah, sekarang kamu tidur yaa… Kamu perlu banyak-banyak istirahat.” Perintah Kak Edward padaku. Aku mengangguk menuruti perintah Kak Edward padaku.

          Aku memberikan buku dan pulpen pada Kak Edward, lalu menarik selimutku dan menutup kedua mataku agar aku dapat tertidur.








*In dreams*
          “Nicky? Kak Edward? Mom? Dad? Where are you? Don’t leave me alone in here. I was feel lonely. Please… Don’t go anywhere!” aku menangis terisak ketika ku lihat ruangan ini begitu kosong.

          Tiba-tiba sosok Nicky, Kak Edward, Mom dan Dad muncul dihadapanku. “Kau harus memilih sayang. Hidup itu memang penuh dengan pilihan. Kau pilih pergi bersama Nicky atau tetap tinggal bersama kami?” tanya Mom.

          “Nicky tidak pantas untukmu, Sakura. Kau harus menjauh darinya.” Ucap Kak Edward. “Dad tak akan pernah merestui hubunganmu dengan Nicky sampai kapan pun” sambung Dad.

          “Ikutlah bersamaku, Sakura. Kan ku berikan kau kehidupan yang tenang dan tentram tanpa ada orang lain yang dapat mengganggu gugat cinta sejati yang suci dan telah terikat diantara kita berdua.” Nicky mensodorkan tangannya seolah mengajakku untuk mengikutinya.

          “Aku tidak tau harus memilih siapa? Jangan tinggalkan aku, Nicky. I love you but I love my family too.” Aku menangis terisak.

          “Baiklah, aku kalah. Cintamu pada mereka ada 3 sedangkan padaku hanya 1. Berbahagialah sayang!” Nicky mengecup keningku dengan lembut. Bayangan Nicky mulai menghilang. Aku hanya bisa terdiam menangisi kepergian Nicky. “Tidak.. tidak.. Nicky!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriakku.











*Reality*
          “Nicky!!!!!!!!” aku terbangun dengan tiba-tiba. Nafasku tak beraturan, seperti habis berlari mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak 25 kali. Untunglah saja suaraku masih serak, jadi tak membangunkan Kak Edward yang sedang tertidur pulas.

          Namun, sosok Nicky pun muncul dihadapanku. “Nicky?” bisikku. “Waktuku tidak banyak, Sakura. Waktuku didunia semakin berkurang disetiap detiknya. Tapi, aku kan berjanji padamu. Sebelum waktuku habis didunia, aku akan membuatmu merasakan kebahagiaan yang paling bahagia.” Sosok Nicky pun kembali menghilang.

          Aku mengucek kedua mataku. Ini beneran atau hanya mimpi lagi saja? (^-^)








#Lanjut next time ya ^-^
#Thank you so much for reading my story (^-^)
#I’m sorry if my story make you feel boring (^-^)v

Minggu, 18 November 2012

Don't Love Me, Please! (16)



                                      *DON'T LOVE ME, PLEASE! (16)*









          “Okay, baiklah. Mendekatlah padaku.” Ucap Kian kembali menatap keluar jendela. Aku mendekati Kian perlahan, menuruti permintaannya.

          “Apakah kau ingat masa-masa kecilmu ketika kamu berlibur di Hokaido?” tanya Kian tanpa menatap ke arahku. “Umm… May be…” jawabku agak ragu.

          “Do you remember about a ‘little prince’?” tanya Kian lagi dengan masih menatap ke luar jendela. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan dan diperhatikan oleh Kian. Aku hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya.

          “Umm… I keep remember it, cause it’s my beautiful memories. Why you know about it?” tanyaku balik pada Kian.

          “Do you know the name of ‘little prince’?” tanya Kian tersenyum kecil. “No, I forget to get his name. I forgot ask to him. Did you know who’s he?” tanyaku balik. Sepertinya kami malah saling melempar pertanyaan. Bagaimana Kian tau tentang ‘little prince’, seseorang yang mungkin sebaya denganku yang ku temukan ketika liburan di Hokaido ketika aku masih berumur sekitar 7 hingga 12 tahun.

          “Do you remember, how much he safe yourself?” tanya Kian kembali dengan masih tanpa menatapku. “I can’t remember it, because he’s like an angel. He comes to me whenever I feel sadly. Why you know it?” tanyaku kembali. Kian sedari tadi tak sepatah kata pun menjawab pertanyaan dariku, Kian hanya terus menerus melontarkan pertanyaan padaku yang membuatku penasaran.

          “He’s Nicholas Bernard James Adam Byrne. You’re his first love, and the last his love.” Kian akhirnya menjawab pertanyaanku dan menatap mataku ketika berkata.

          “What?! Why he’s don’t tell me about it?” tanyaku lagi. “Umm… Tentu saja dia malu. Apalagi kalian telah bertahun-tahun tak bertemu. Kau tau? Daridulu dia selalu menjadi paparazzi setiamu. Dia yang selalu melindungimu dan dialah yang selalu mencintaimu sejak saat itu. Aku sudah berusaha mencoba berbagai cara agar Nicky dapat berpaling ke wanita lainnya, namun semua usahaku pasti berakhir dengan sia-sia.” Kian mulai bercerita.

          “Tunggu dulu, jangan-jangan kamu juga adalah ‘Kino’?” tanyaku sambil mengingat-ingat. “Hahaha… Yup, kamu benar. Kau selalu memanggilku itu. Hahaha… Aku dan Nicky berteman ketika ditaman bermain hingga tingkat ‘Junior High School’, namun setelah itu Nicky dibawa orang tuanya untuk pindah ke England. Makanya, ketika liburan panas hari itu kau tidak dapat bertemu dengannya karena ia telah pindah ke England sebulan sebelumnya” Kian bercerita sambil mengingat-ingat kejadian dimasa lalu itu.

          “Hmm… Aku pikir ‘little prince’ itu Brian dan ‘Kino’ adalah Nicky. Yah, yang kudengar mereka bersahabat sejak kecil.” Ucapku merasa bersalah. “Hahaha.. memang, namun mereka bersahabat setelah Nicky pindah ke England. Kurasa itu sebabnya kau menyukai Bryan, dan hatimu berkata sebuah kejujuran bahwa yang kau cintai selama ini adalah Nicky bukan Bryan. Awalnya ku pikir kalian akan berjodoh karena perasaan yang begitu sangat kuat diantara kalian berdua yang tak dapat dipisahkan oleh yang lain. Namun, ternyata Tuhan berkehendak yang sebaliknya.” Kian menghela nafas panjang.

          “Kian, aku merasa waktu seolah sangatlah terlalu sebentar buatku untuk bersama Nicky. Awalnya pun ketika aku bertemu Nicky kembali dirumah Bryan, aku merasakan ada yang aneh pada diriku. Namun ku tepis semua karena keyakinanku bahwa Bryan lah sosok ‘little prince’. Oh Tuhan, dunia ini begitu sangat sempit.” Aku menengok keatas menatap langit biru diluar jendela.

          “Semua pasti ada jalan keluarnya. Tuhan takkan memberikan cobaan yang lebih dari batas kemampuan umatnya. Pilihan Tuhan takkan pernah salah, percayalah…” ucap Kian seraya pergi meninggalkanku kembali seorang diri.

          “Aku pengen teriak…” ucapku dengan ekspresi wajah polos.









*Keesokan harinya*
          “Babe!!!” aku mengejutkan Nicky dari belakang. Nicky yang bengong menatap langit pagi hari yang indah, sontak saja langsung kaget dan berbalik.

          “Hahaha… ‘Little prince’ lebay deh… Masa cuman begitu saja sudah kaget segitunya… Makanya jangan bengong… Pagi-pagi udah bengong…” ucapku sambil menjulurkan lidahku tanda kemenanganku berhasil menjahilinya.

          “Little prince? Do you remember me now?” tanya Nicky mengejarku. “Hatiku yang berkata begitu. Namun, aku masih ragu… Umm…” ucapku bergumam.

          “Apa yang kau ragukan? Ku pikir kau telah mengingat segalanya” ucap Nicky agak cemberut. “Hahaha… Tenang saja… Ini pertanyaan yang sangat mudah, namun yang tau jawabannya hanya aku dan ‘little prince’… Bagaimana?” tantangku pada Nicky. “Okay, siapa takut?” ucap Nicky yakin.

          “Ketika umur berapa aku dan ‘little prince’ pertama kali mencoba membuat masakan? Dimana? Siapa yang mencicipi masakan kami? Bagaimana komentar dia yang telah mencicipinya? Dan apakah nama masakan yang kami buat?” aku langsung melontarkan pertanyaan bertumpuk pada Nicky untuk memastikan apakah benar Nicky adalah little prince sesuai yang diucapkan oleh Kian.

          “Hahaha… Itu terlalu mudah buatku. Aku dan kamu pertama kali mencoba membuat masakan ketika berumur 10 tahun. Your Mom membiarkan kita memasak didapur nenekmu dan bahkan kita membuatnya jadi sangat berantakan namun your Mom tak marah sedikitpun, dia malah tertawa melihat wajah kita yang berlepotan. Kita menjadikan Kino sebagai kelinci percobaan untuk mencicipi masakan kita. Lalu ia berkata, ‘Rasanya enak, tapi terlalu manis banget.’ Bahkan ia meminta kita untuk mengambilkan air putih karena rasanya yang terlalu manis. Kita memasaknya karena sehari sebelumnya kita melihat disebuah majalah Mommy mu sebuah pudding yang sangat menggugah selera dan kebetulan disana telah tercantum resepnya. Namun karena ada kata-kata yang membingungkan, kau pun berlari bolak-balik menemui Mommy mu hanya untuk menanyakannya. Dan itu jugalah sebabnya kita berdua menamainya ‘Run Pudding Chocolate Kingdom’ karena kitalah pangeran dan putrinya. I always remember it, my princess” Nicky berlutut sambil memegang kedua tanganmu.

          “You’re my prince!!!” Aku memeluk Nicky. “Of course. The little prince is me, not Bryan.” Ucap Nicky. “Sorry, my prince. I don’t know” ucapku melepas pelukan Nicky karena merasa bersalah.

          “Sudahlah, hal itu tak perlu lagi dibahas. Yang penting sekarang kau telah mengetahuinya. I can’t forget you, honey. Sudah dua puluh tahun aku menginginkan dirimu menjadi pasanganku. Dan telah sepuluh tahun aku menahan rasa rinduku padamu. Dan saat aku t’lah berhasil menemukanmu, kau pun telah berhasil membuatku patah hati untuk pertama kalinya. Ketika melihatmu bermesra-mesraan dengan Bryan dan sesekali kau memanggilnya ‘little prince’ membuatku patah hati. Namun, itu semua tak dapat menghilangkan perasaanku padamu. Maaf, aku baru mengatakannya.” Nicky memelukku dengan erat.

          “That’s not your wrong, babe. Mungkin kita memang tak berjodoh. Tapi kau ‘kan selalu tersimpan dihatiku meski ragamu tak dapat ku miliki. Aku yakin jiwamu ‘kan selalu bersamaku. Mesti kau tercipta bukan untukku.” Aku membalas pelukan Nicky.

          “Andaikan Tuhan memberikanku hidup satu kali lagi, hanya untuk bersamamu. I’m really really love you. Rasa ini sungguh tak wajar, namun ku ingin tetap bersama dirimu untuk selamanya.” Tak ku duga Nicky akan berkata seperti itu.

          “Maaf, aku telah membohongi dirimu Sakura. Selama ini, aku selalu barusaha tegar dan terus memotivasimu untuk hidup. Namun sebenarnya dilubuk hatiku yang paling dalam, aku pun sangat tak ingin meninggalkanmu. Setiap waktu aku selalu berdoa agar Tuhan dapat memberikanku hidup satu kali lagi. Aku ingin disampingmu agar tetap selalu dapat menjagamu, memelukmu, aku pun ingin menjadi orang yang selalu ada disaat tersusahmu, aku ingin membahagiakan dirimu… Dan satu hal lagi yang memang terdengar sangat gila dan egois, aku ingin menjadi satu-satunya pria yang kau cintai sehidup sematimu, Sakura.” Nicky mengelus rambutku.

          “Kebahagiaan dirimu adalah kebahagiaanku juga, sayang. Jadi walaupun kita telah terpisah sangat jauh, percayalah hatiku kan tetap jadi milikmu. Tenanglah dirimu disana kasih, ku kan bahagia menjalani hari-hariku apabila kau tenang disana. Aku percaya Tuhan akan selalu menjagamu disisi-Nya dan ku yakin Tuhan kan selalu bersamaku disetiap langkahku, itu artinya jarak kita sebenarnya tidaklah sejauh itu. Kita sebenarnya dekat, namun hanya kitalah yang tak dapat saling melihat.” Aku tau aku sangatlah munafik.

          Aku adalah wanita munafik yang membohongi perasaannya sendiri. Ketidakrelaanku tak dapat ku egoiskan. Aku tak ingin membebani Nicky. Aku ingin dia tenang. Biarlah semua rasa sakit ini ku pendam sendirian.

          Nicky melepas pelukannya lalu menyentuh wajahku dengan kedua tangannya, “Are you sure, honey?” tanya Nicky. “Apapun akan ku lakukan demi dirimu, sayang.” Ucapku tersenyum.

          “Wah! Senangnya aku mendapatkan hatimu! Bangganya aku memiliki dirimu dan cintamu!” ucap Nicky terkesan berlebihan. “Makanya nanti aku akan selalu berdoa, ‘Ya Tuhan, jagalah my prince disisi-Mu. Cubit aja dia kalau nakal. Dan jangan buat hatinya berpaling pada bidadari-bidadari yang ada di surge nanti…’ Amin…” ucapku tersenyum jahil.

          “Hahaha… Kau ini… Bagaimana pun cantiknya seorang bidadari dan sebagaimanapun sempurnanya dia. Sakura Jane Airurando tetaplah malaikat hatiku…” Nicky mencubit kedua pipiku dengan gemasnya. “Aduh!! Sakit tau!! Ntar aku malah tembem lohh!!” ucapku kesakitan. Nicky pun langsung melepaskan kedua tangannya dari kedua pipiku. Aku menyentuh kedua pipiku yang masih terasa sakit.

          “Gombalnya gak ampuh! Bleee” Aku menjulurkan lidahku kemudian berlari pergi meninggalkan Nicky yang terdiam. Entah karena merasa tak berhasil membuatku tersanjung dengan kalimat gombalannya atau karena merasa kembali kalah dariku, Nicky yang biasanya langsung mengejarku kini tak mengejarku selangkah pun.

          “Hahhh… I’m so bored now” aku menghela nafas panjang lalu menuju ruang ICU tempat tubuhku terbujur kaku.









*Diruang ICU*
          Aku menghela nafas panjang berkali-kali sambil menatap langit biru diluar dan anak-anak yang sedang bermain dengan gembiranya bersama kedua orang tua mereka.

          “Kurasa Nicky benar. Aku harus tetap hidup didunia. Masih banyak yang harus ku selesaikan. Mulai dari hubungan Kak Kate dan Bryan, hubungan Mark dengan Suzane, dan masalah siapa orang tua kandungku. Aku harus bisa berusaha walau tanpa Nicky. Ini memang berat, tapi ku yakin Tuhan kan tetap bersamaku. Tuhan, tegarkanlah diriku…” ucapku menatap tubuhku yang terbujur kaku.

          “Aku harus berjuang menyelesaikan semua masalahku, aku tak ingin meninggal sekarang… Aku ingin meninggal dalam kedamaian… Kuatkan hatiku, Tuhan” aku kembali menatap keluar jendela. Aku mulai memperhatikan dengan seksama anak-anak yang sedang bermain dengan cerianya tanpa beban bersama kedua orang tuanya.

          Hal yang sungguh membuat hatiku sakit. Aku tak pernah merasakan hal segembira itu. Kapankah aku dapat tertawa ceria dengan lepasnya bersama dengan orang-orang yang sangat ku cintai? Mom dan Dad yang super sibuk semenjak aku kecil, tak mungkin aku meminta mereka untuk menemaniku bermain. Jika aku meminta mereka, ku yakin itu hanya menambah beban berat yang dipikul oleh mereka. Ketika aku masih kecil, aku selalu ingin dapat bermain dan menerima kasih sayang Mom dan Dad. Aku selalu ingin mendapatkan belaian kasih sayang mereka. Aku pun selalu ingin mereka ada bersamaku di saat aku butuh.

          Namun, hingga beranjak dewasa pun aku tak pernah sekali pun mendapatkannya. Begitu banyak beban yang ku pikul dirumah. Sungguh, aku tak butuh akan harta tapi yang ku butuhkan hanyalah belaian sayang dari mereka kepadaku. Aku memang terlahir dengan kanker otak, tapi itu semua bukanlah keinginanku. Aku pun ingin mendapatkan kebahagiaan. Bahkan karena terlalu sibuknya Mom dan Dad, maka hanya Kak Edward lah yang tau akan kanker ku ini. Aku selalu merahasiakannya agar tak jadi beban Mom dan Dad.

          Aku tak ingin menjadi beban bagi siapa pun. Aku tau bahwa aku adalah wanita lemah, tapi itu semua bukanlah kehendakku terlahir dengan semua ini. Ditengah-tengah kelemahanku, aku selalu berjuang agar dapat membuat Mom dan Dad bangga pada diriku, bangga memiliki diriku, dan beralih memberikan belaian kasih sayang mereka padaku. Namun semua prestasi yang ku raih, Mom dan Dad bahkan tidak pernah tau pula dengan prestasiku tersebut.

          Bagaimana tidak? Semua piala yang telah ku dapatkan dan ku bawa pulang kerumah, semuanya pasti selalu direbut Kak Kate saat aku tertidur mau pun saat Mom atau Dad baru pulang. Kak Kate selalu mengakui bahwa piala itu dialah yang meraihnya membuat Mom dan Dad tersenyum bangga pada Kak Kate, Kak Edward yang tau pun sebenarnya ingin mengatakannya pada Mom dan Dad. Namun, selalu ku cegah. Biarlah Kak Kate melakukannya, toh selama ini keberadaanku telah membuatnya menderita. Biarlah ia meraih kebahagiaannya dengan caranya sendiri.

          Kata-kata menyakitkan yang pernah keluar dari bibir Dad kepadaku waktu aku kelas 3 tingkat Junior High School adalah, ““Lihatlah kakakmu Kate, dia selalu mampu membuat Mom dan Daddy bangga. Cobalah belajar menjadi seperti dirinya yang selalu berprestasi. Jangan hanya bengong menyendiri dikamar!””. Hal itu sungguh sangat membuat hatiku sakit, bagaikan tertancap paku-paku yang sangat banyak. Untung saja saat itu Kak Edward sedang berkuliah, jadi tak ada dirumah. Jika, ada Kak Edward pada saat itu mungkin Kak Kate tak mungkin tersenyum akan kemenangan dirinya mendapatkan perhatian dari Daddy.

          Dan aku pun masih mengingatnya saat di Hokaido saat aku berumur sekitar 11 tahun ketika aku pulang dari taman bermain bersama ‘little prince’ dan ‘Kino’, Mom memarahiku, ““Kau ini selalu saja tiap hari bermain! Apa gunanya kau ini?! Dari kecil saja sudah malas-malasan! Lihat kakakmu, Kate! Dia sendirian membereskan rumah, sedangkan kau asik bermain hinggal larut seperti ini! Kau sia-siakan waktumu dengan hal yang tak berguna!””. Ingin sekali rasanya pada saat itu aku mengatakan pada Mom bahwa sebenarnya akulah yang membereskan semua pekerjaan rumah. Ingin pula ku perlihatkan pada Mom luka lebam pada sekujur tubuhku akibat siksaan dari Kak Kate. Namun aku hanya menangis, memendam semua rasa sakit itu. Dan Kak Kate tersenyum senang mendapatkan belaian kasih sayang yang tulus dari Mom yang selalu ingin ku dapatkan.

          “Benarkah aku hanya anak pungut? Benarkah aku bukan anak kandung dari Mom dan Dad? Benarkah apa yang telah dikatakan Kak Kate padaku saat itu? Apakah semua itu benar?” pertanyaan tersebut kembali melintas dibenakku.

          Sungguh telah banyak yang ku pendam didasar hatiku yang paling dalam. Aku tak pernah menceritakannya pada siapa pun termasuk Kak Edward dan Suzane. Itulah sifatku, selalu memendam semuanya sendiri. Aku selalu tak ingin menjadi beban bagi orang lain.

          Jikalau pun aku menceritakannya, tak mungkin ada satu orang pun yang tau seperti apa rasanya menjadi diriku ini. Hal yang paling mungkin mereka berikan padaku hanyalah perasaan rasa kasihan kepadaku. Aku tak pernah ingin dikasihani! Aku hanya ingin pengertian! Namun, aku pun tak ingin menjadi beban bagi siapa pun. Ku terbiasa tersenyum tenang walau hatiku menangis.

          “God, I’m just having you now. I know just you can always beside me to be forever. God, tell me please, what I must do? I don’t know, what I must do now?” aku tertunduk menangis meratapi nasibku.

          “Tuhan, aku tidak akan menyesal telah Engkau terlahirkan di bumi ini. Karena ku yakin apa yang telah Engkau rencanakan itu semua pasti adalah yang terbaik untukku. Namun, hamba hanya minta pada-Mu ya Tuhan. Tolonglah bantu hamba menyelesaikan semua masalah ini agar hamba dapat tenang ketika disisi-Mu kelak. Tabahkan aku, Tuhan” aku memohon datangnya keajaiban dari Tuhan. Ku yakin ini semua pasti akan berakhir dengan indah. Karena disetiap rencana yang telah Tuhan susun, itulah pilihan terbaik buat kita.

          “Tuhan, tunjukkanlah kebesaran-Mu dan jalan terbaik dari-Mu untukku ini. Aku hanyalah manusia ciptaan-Mu yang lemah, karena itulah aku sangat bergantung pada Engkau, Tuhan. Kumohon bantulah diriku yang lemah ini dengan kebesaran-Mu” aku terus berdoa dan berharap keajaiban itu akan segera datang pada diriku.

          Ketika ku bangun dan melihat dunia kembali dengan tubuhku, ku harus mampu membuktikan dan membuat Nicky tenang meninggalkanku. Aku tak ingin diriku menjadi beban Nicky menuju alam baka. Aku harus mampu menyelesaikan semuanya. Itu janjiku pada diriku dan pada-Mu, Tuhan.

          Tiba-tiba aku merasakan roh ku seperti terhisap oleh sesuatu begitu saja. Apa yang terjadi? “Kyaaa!!!!!!!!!!!!!!” aku berteriak. (^-^)






#Lanjut next time ya ^-^
#Thank you so much for reading my story (^-^)
#I’m sorry if my story make you feel boring (^-^)v

Jumat, 09 November 2012

Don't Love Me, Please! (15)



*DON’T LOVE ME, PLEASE! (15)*







 “Sakura, maaf aku tak bisa terlalu lama menemani dirimu. Waktuku didunia ini pun hanya empat puluh hari saja, maka sebentar lagi aku harus meninggalkan kamu dan menghadap Tuhan. I’m sorry, babe…” Nicky memelukku dan mengelus-elus rambutku.

          “Kau jahat, Nick! Kau tinggalkan aku sendiri didunia! Nicky, aku gak mau kehilangan kamu lagi! Aku gak mau jarak antara kita kian jauh! Aku nggak mau, Nick” ucapku menangis terisak.

          “I love you, Sakura. Aku pun tak ingin ini terjadi antara kita. Namun inilah kenyataan. Dunia memang kejam, tapi percayalah cintaku kan tetap bersinar terang menerangi ruang hatimu.” Nicky mengecup keningku dengan lembut.

          “Bawalah aku pergi bersamamu! Aku rela melakukan apa saja, asalkan itu semua demi dapat bersamamu.” Ucapku pasti. “Tidak, aku tidakkan bisa melakukannya” Nicky tertunduk.

          “Why?” tanyaku heran. “Follow me now, honey” Nicky menggandeng tanganku menuju pintu keluar rumah sakit ini.







*Didepan pintu rumah sakit*
          “Ada apa, Nick? Tolong beritau aku. Jangan membuatku bingung dengan semua ini!” ucapku membuyarkan lamunan Nicky.

          Nicky menggenggam kedua tanganku erat lalu mulai berjalan mundur menuju keluar pintu. Roh Nicky menembus pintu keluar, namun tiba-tiba… tanganku tertahan dipintu. Nicky yang telah berada dibalik pintu, tak ku lihat lagi ekspresinya. Tak keluar sepatah kata pun darinya.

          Biasanya roh ku pun dapat menembus pintu dan tembok mana pun. Aku mencoba menggenggam dan memutar knock pintu. Bahkan aku juga mencoba mendorong dan menarik pintunya. Namun aku tak berhasil melakukannya.

          Tiba-tiba seorang penjaga datang dan membuka lebar kedua pintu tersebut. Aku langsung mencoba melangkahkan kakiku keluar rumah sakit. Namun tubuhku tak dapat keluar dari tempat ini. “Roh mu tertahan di rumah sakit ini. Kau takkan bisa keluar dari rumah sakit ini untuk pergi kemana pun.” Ucap Nicky tertunduk lemas.

          “Tidak!! Enggak!!! Ini semua nggak mungkin terjadi!!!!!!!!!!!!!!!” aku terduduk lemas.

          “Maafkan aku, tapi inilah kenyataan.” Nicky menyentuh pipiku. “Nicky, aku takut… Aku takut tak bisa lagi bersamamu! Aku takut terpisah lebih jauh darimu! Aku takut tak bisa menjalani hidup dengan senyuman yang alami tanpamu! Aku takut kehilangan dirimu! Aku takut kehilangan cintamu! Aku takut, Nicky… Hanya bersamamulah ku yakin dapat tersenyum bahagia dengan natural, bukan seperti senyuman-senyuman dan tawa hampa yang biasanya ku lakukan… Aku hanya ingin dirimu…” tangisku tak terbendung lagi.

          “Don’t be scared, honey. I’ll always life in your heart and your mine.” Nicky mengecup kening ku lalu memelukku erat.

          “Aku tak butuh hanya sekedar itu saja, Nicky! Kau tak tau dan tak akan pernah tau apa yang ku rasakan!” aku mendorong Nicky hingga Nicky terjatuh. Aku langsung berbalik dan berlari meninggalkan Nicky menju ruangan ICU tempat tubuhku terbujur kaku.








*Didalam ICU*
          “Mengapa Tuhan menciptakan aku didunia? Mengapa Tuhan tega membiarkan diriku menderita dimuka bumi ini? Mengapa Tuhan menghidupkan aku dan menurunkanku ke bumi jika hanya ingin melihatku menderita? Mengapa Tuhan tak kunjung mencabut nyawaku?” aku menangis menatapi tubuhku yang terbujur kaku dengan masih dipasang alat-alat kedokteran di sekujur tubuhku.

          “Apa gunanya aku dihidupkan oleh Mu, Tuhan? Apa gunanya aku hidup dimuka bumi ini? Aku hanyalah makhluk ciptaan-Mu yang paling lemah yang tidak berdaya dan sama sekali tidak berguna. Kapankah kiranya akan Engkau ambil nyawaku yang tidak berharga ini, Tuhan?” aku mendekati tubuhku yang masih terbujur kaku.

          Air mata yang menetes pada roh ku yang walau akan hilang ketika jatuh menyentuh tanah juga terlihat oleh mata pada tubuhku. Air mataku juga mengalir dari mata pada tubuhku.

          Mataku mulai melihat ke sekeliling ruanganku, aku mencari sebuah benda yang mungkinkah akan ada. Mataku terhenti ketika melihat deseberangku ada benda yang sangatlah ku butuhkan.

          Aku mulai menuju tempat benda tersebut dan mulai mengambilnya. Salah sendiri para perawat itu menaruh benda seperti ini disini. Aku mengambil sebuah pisau kedokteran yang biasanya digunakan untuk melakukan sebuah operasi pada seseorang.

          Ini adalah waktu yang tepat untuk membunuh diriku sendiri. Tak ada lagi kini yang bisa mencegahku untuk memanggil malaikat maut agar dapat datang dan mengambil nyawaku. Malaikat maut, dimanakah engkau?

          “Sakura!!!” Nicky menarik lenganku ketika aku ingin menusukkan pisau operasi ini pada jantungku.

          “Lepaskan aku!!! Lepaskan aku, Nicky!!! Lepaskan!!!” aku berusaha melepaskan genggaman Nicky dariku. “Tidak!! Tidak akan ku lepaskan!!!” Nicky menjatuhkan pisau yang ku genggam lalu menendangnya menjauh dariku.

          “Kenapa, Nicky? Kenapa? Apa kau senang melihatku menderita didunia? Kau senang?” aku meneteskan air mata kekecewaan pada Nicky.

          “Sakura? Nicky? Apa yang terjadi?” Kian tiba-tiba datang dan terlihat heran melihat ekspresiku dan Nicky.

          Aku tak menggubris pertanyaan Kian. Nicky pun terdiam seribu bahasa. Kian pun masih diam menunggu jawaban keluar dari bibir salah satu dari kami berdua.

          “Sakura mencoba membunuh dirinya sendiri…” ucap Nicky beberapa saat kemudian.

          “Sakura, apakah yang dikatakan oleh Nicky itu benar?” tanya Kian menuju kearahku.

          Aku hanya diam seribu bahasa yang lagi-lagi tak menggubris pertanyaan Kian. “Mengapa kau melakukannya?” tanya Kian lagi.

          “Lalu apa salahnya? Aku hanya berusaha meraih kebahagiaanku! Aku capek menderita hidup didunia! Aku lelah dengan semua permainan didunia ini! Diriku pun tak berguna untuk hidup! Aku hidup hanya bisa menyusahkan orang lain saja! Lebih baik aku mati agar tenang bersama Nicky!” jawabku menegaskan pada Kian.

          “Tapi tak begini caranya. Apa kau yakin ini sudah jalan yang benar yang kau pilih? Ingat, Tuhan takkan memberikan cobaan yang lebih kepada makhluk-Nya. Kau harusnya lebih banyak berdoa dan mendekatkan diri pada-Nya bukannya malah membunuh dirimu sendiri. Kau pikir Nicky takkan sedih melihatmu menderita didunia? Nicky juga sangat sedih, namun dia akan lebih merasa sangat sedih dan akan kecewa berat apabila kau membunuh dirimu sendiri.” Ucap Kian makin dekat denganku. Nicky yang mendengar namanya disinggung oleh Kian, hanya terdiam. Nicky terduduk dan tetap diam membisu menundukkan kepalanya.

          “Coba kau ingat kembali, jika kau merasa dirimu tak berharga. Lalu, apa gunanya saat itu Nicky menyelamatkan nyawamu bahkan hingga dia mengorbankan nyawanya sendiri demi dirimu. Agar apa? Agar kau bisa hidup didunia, agar masih bisa melihat keindahan dunia, agar kau dapat mewujudkan semua cita-citamu. Nicky hanya ingin melihatmu bahagia. Hanya itu, bukan yang lain. Maka dari itu jangan sia-siakan pengorbanan Nicky, hanya karena masalah dunia yang tak berharga.” Aku hanya diam mendengar ucapan-ucapan Kian yang mulai menyadarkan diriku.

          “Nicky, maafkan diriku. Maafkan aku yang selalu menyakitimu, mengecewakanmu dan meragukanmu. Namun karena diantara beribu cinta, pilihanku jatuh pada dirimu. Takkan ada selain kamu dalam segala keadaanku, cuma kamu dan hanya kamu yang selalu ada untukku dan paling mengerti aku. Maafkan aku yang buta akan pengorbanan dirimu untukku.” Aku mendatangi Nicky dan terduduk. Tak terasa setetes demi setetes air mataku jatuh.

          “Don’t cry, honey. I forgive you. Please, don’t cry again. I won’t see you cry. Smiling, honey…” Nicky menatap mataku dengan dalam dan lembut seraya menghapus air mataku.

          “Hiks… Tapi, aku sungguh sangatlah bodoh… Aku melupakan pengorbanan dirimu… Aku memang tak pantas untukmu…” ucapku terisak. “Hey! Don’t cry, my girl! Aku tau, kau melakukannya demi diriku juga. Namun percayalah juga sayang, bahwa aku melakukan ini semua hanya untuk dirimu. Hanya satu pintaku untukmu dan hidupmu, baik-baik sayang ada aku untukmu. Hanya satu pintaku disiang dan malammu, baik-baik sayang karena aku untukmu. Tetaplah hidup demi diriku! Karena kini nyawaku juga ada pada dirimu! Karena separuh aku kini ada pada dirimu. You’re my life, honey!” Nicky memelukku erat.

          “Nicky, aku tak ingin kehilanganmu. Aku frustasi. Aku takut, aku takut menjalaninya tanpamu. Aku takut jika tak ada kamu bersamaku. Aku tak mau kehilangan kamu.” Aku membalas pelukan Nicky dan tetap menangis.

          “I’ll always life in your heart and your mine, honey. I’m not leaving you, promise! Believe me!” Nicky mengelus rambutku dengan lembut.

          “Aku masih tak bisa menerima kenyataan!” ucapku. “Kau akan terbiasa nantinya, Sakura” jawab Nicky seraya menghela nafas.

          “Uhuk!! Uhuk!! Ehem!! Ehem!! Jadi setelah gue ngomong panjang lebar terus gue sekarang hanya dianggap patung gitu?!” ucap Kian tiba-tiba dengan nada sewot.

          “Hahaha… Maaf ya, Kian. Aku lupa…” jawabku melepas pelukan Nicky. “Kian, kumohon… Kumohon ketika Sakura kembali ke dunia dan aku telah menghilang, tolong jaga dirinya. Aku tak ingin ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Tolong jaga dirinya demi aku. Tolong… Aku mohon padamu…” Nicky menepuk pundak Kian.

          “Tenang saja, aku pasti menjaganya demi dirimu. Aku ikhlas melalukannya, bahkan bila harus mengorbankan nyawaku seperti yang kamu lakukan.” Kian tersenyum pada Nicky. Nicky pun membalas senyuman Kian dengan lembut.

          Aku tak tau harus berkata apa lagi. Aku ingin mencegah Nicky, namun sudah ku pastikan itu semua akan sia-sia saja. Andai kau tau Nick, aku bahkan tak memperdulikan lagi kehidupanku didunia hanya agar aku dapat bersamamu selalu untuk selamanya. Aku tak ingin kehilanganmu. Aku takut, Nicky. Aku takut…

          “Takkan selamanya tanganku mendekapmu. Takkan selamanya raga ini menjagamu. Tak ada yang abadi, Sakura. Semua adalah takdir Tuhan. Carilah kebahagiaanmu demi diriku. Karena kini separuh aku itu dirimu. Berbahagialah, agar aku dapat tersenyum di alam baka sana. Jangan teteskan air matamu kembali dihadapan orang lain.” Nicky mengecup keningku.

          Entah mengapa, namun hatiku terasa sangat sesak. Aku takk ingin kehilangan Nicky. Namun, apakah yang harus aku lakukan agar aku dapat terus bersama Nicky dan mencegah kepergiannya. Tuhan, janganlah Engkau tega memisahkan diriku dengan Nicky.

          “Sakura, waktuku hanya tinggal lima belas hari lagi didunia. Aku hanya ingin membuat kenangan yang sangat indah yang takkan terlupakan diantara kita berdua. Tolong jangan menangis lagi ya, aku hanya ingin melihat kau tersenyum” Nicky menyentuh wajahku dengan lembut. Aku hanya diam seribu bahasa.

          “Okay” ucapku agak tak yakin dapat melakukannya.









*Seminggu kemudian*
          Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari kini telah berlalu. Tak terasa kini waktuku bersama Nicky hanya tinggal seminggu. Betapa berat rasanya melepaskan orang yang sangat dicintai. Hal itu andaikan semudah membalikkan telapak tangan, tapi aku yakin itu semua hanyalah harapan yang sia-sia.

          Tuhan, sungguh aku tak rela kehilangan Nicky untuk selamanya. Ku tau didunia ini tak ada yang abadi, semua makhluk hidup pasti akan kembali kepada-Mu. Namun, haruskan dengan secepat ini aku kehilangan Nicky?

          Setiap detik aku selalu merasa takut. Takut kehilangan Nicky, takut akan kehilangan senyum alamiku, takut takkan lagi dapat bahagia, takut kesepian. Ya Tuhan, tolong katakana ini semua hanya mimpi burukku. Aku tak sanggup Tuhan, tak akan pernah bisa sanggup kehilangan Nicky. Semenit tanpa Nicky bagaikan seharian tanpanya, Tuhan. I’m so scared now!

          “Sakura?!” Kian datang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. “Kian?!” ucapku kaget. Aku pun buru-buru menghapus air mataku.

          “Why you’re crying?” tanya Kian mendekatiku. “No, I’m not crying. Kamu hanya salah lihat saja” jawabku mengelak.

          “I know you’re crying. Tadi aku barusan habis dari ruanganmu dan air matamu mengalir. Ketika aku menyadarinya, aku pun segera mencari rohmu. Ingat Sakura, apa yang kamu rasakan pada roh mu itu akan terjadi pula pada tubuhmu, misalnya ketika roh mu menangis maka secara langsung tubuhmu pun mengalirkan air mata. Begitu pula dengan sebaliknya, ketika tubuhmu dilukai oleh Kate, rohmu pun ikut merasakan kesakitan yang luar biasa dan hal itu sama dengan yang dirasakan tubuhmu. Karena kau belum meninggal, maka tubuh dan roh mu masih saling berterikatan secara erat. Kau tak bisa membohongi diriku.” Kian menatap keluar jendela sambil menjelaskan.

          Aku hanya terdiam mendengarkan ucapan Kian. Aku pun masih tak menjawab pertanyaan Kian. Aku hanya diam seribu bahasa. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Kian pun menghela nafas panjang ketika sudah terlihat tak lagi sabar menunggu jawaban keluar dari bibirku.

          “Kau takut kehilangan Nicky kan?” tanya Kian to the point. “Kalau kau sudah mengetahuinya, mengapa kau masih bertanya?” tanyaku balik. Tentu saja dugaan Kian yang tepat itu kembali membuat hatiku terasa sesak.

          “Sakura, Nicky pun tak ingin pergi meninggalkanmu. Tapi, itulah takdir Tuhan yang ada satu manusia pun yang sanggup mengubahnya. Kita memang mungkin dapat mengubah nasib, tapi sangatlah tidak mungkin kita dapat mengubah takdir Tuhan. Nicky pun merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam. Kau tau, Sakura? Ada hal yang aku ceritakan padamu tentang Nicky, tapi kau jangan katakana padanya. Karena ini rahasia antara aku dan Nicky. Karena sebagai tempat curhatnya dia, dan kurasa kau perlu tau akan hal ini” ucap Kian membuatku menjadi sangat penasaran.

          “Tell me, what’s that? Come on, Kian… Please…” pintaku pada Kian. “Okay! Okay! But, this is very secret. Kau jangan beritahukan kepada siapapun. Dan terutama kepada Nicky, ya karena bisa habis aku diamukin Nicky” Kian berbalik ke arahku.

          “Okay, I promise! Come on, Kian… Jangan membuatku menjadi sangat penasaran dong!” pintaku pada Kian. Aku mulai mendekati Kian agar tak ada seorang pun yang mendengarnya terutama apabila Nicky datang tiba-tiba menembus dinding. (^-^)







#Lanjut next time ya ^-^
#Thank you so much for reading my story (^-^)
#I’m sorry if my story make you feel boring (^-^)v